Ma'ruf : Meninggalnya Satu Suku Itu Lebih Ringan daripada Meninggalnya Ulama

Ma'ruf Amin
Wakil Presiden Ma'ruf Amin /detikNews

Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menyoroti jumlah kematian para tokoh agama Islam akibat terpapar Covid-19.

Ia memaparkan bahwa menurut data dari Kementrian Agama, ada sebanyak 606 kiai, ulama, dan pengasuh pesantren yang meninggal akibat COVID-19 per 7 Juli 2021

Ia pun menjelaskan dengan mengutip sebuah hadits bahwa kematian ulama merupakan sebuah kerugian besar bagi umat Islam dibandingkan kematian sebuah suku.

“Meninggalnya para kiai dan ulama adalah musibah yang tidak tergantikan. Dan sebuah bocoran yang tidak bisa ditambal, wafatnya para kiai dan ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku itu lebih ringan daripada meninggalnya ulama,” ucap Ma’ruf dikutip terkini.id dari Voa.

Selanjutnya, ia kemudian berterima kasih kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengeluarkan fatwa terkait larangan pelaksanaan ibadah di Masjid demi pencegahan penularan Covid-19.

“Saya juga mengapresiasi MUI yang telah menerbitkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi pandemi COVID-19 dan mengajak umat Islam untuk menjaga kesehatan,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada lembaga pemerintah Badan Amil Zakat Nasional (Baznaz) yang telah membuat program ‘Kita Jaga Kiai’ untuk mencegah penularan Covid-19 di kalangan tokoh ulama.

Sebagai informasi, program ‘Kita Jaga Kiai’ merupakan program yang bertujuan untuk menjaga kesehatan ulama dan para santri di pondok pesantren.

Adapun kegiatannya yaitu berupa vaksinasi, pemberian peralatan kebersihan dan sebagainya.

Penjelasan Jubir Wapres Ma’ruf Amin

Pernyataan Wapres KH Ma’ruf Amin terkait wafatnya ulama dengan mengilustrasikan perbandingan wafatnya satu kabilah dengan satu orang kiyai, mendapat persepsi dan amplifikasi yang berbeda oleh sebagian netizen

 Jubir Wapres, Masduki Baidlowi pun menyampaikan klarifikasi. 

Masduki mengungkapkan, pernyataan Wapres tersebut mengutip hadis riwayat Al-Thabrani, dan bukan dengan intensi merendahkan siapapun. 

“Sekali lagi, itu kutipan hadis. Bukan pernyataan pribadi Wapres,” jelas Masduki dalam keterangan resmi yang diterima terkini.id.

Pernyataan wapres tersebut sebelumnya ramai di media sosial dan dimaknai berbeda oleh sebagian netizen.

Lebih lanjut, Masduki menjelaskan, hadis tersebut dikutip dan diterjemahkan Wapres apa adanya, tanpa ditambah-tambahi. Namun, pengutipan hadis itu perlu dipahami dalam konteks sambutan Wapres lebih utuh. Konteksnya adalah untuk memberi gambaran tentang betapa dalamnya rasa kehilangan kita dengan wafatnya ulama. 

Momentum pernyataan itu, terang dia, saat Wapres tengah memberi apresiasi program Baznas bertajuk “Kita Jaga Kyai”. 

Kyai adalah sebutan untuk ulama di Indonesia. Ulama itu figur berilmu. Dalam sambutan itu, Wapres tidak membatasi ahli ilmu hanya pada bidang agama, tapi juga ilmuwan dan cendekiawan secara luas.

“Dalam beberapa bulan terakhir, banyak kyai, ulama, pengasuh pesantren, cendekiawan, ilmuwan Indonesia yang meninggal dunia,” kata Wapres Ma’ruf Amin. 

Karena dalam acara Baznas, yang mengelola dana sosial Islam, yakni zakat, infak dan sedekah, Wapres merujuk perspektif Islam tentang musibah wafatnya ilmuwan, para ahli ilmu, para alim, dan ulama. 

Wapres menguraikan peran penting ulama dalam tiga aspek: keagaman, peradaban, dan kebangsaan. Dari sisi keagamaan, ulama adalah pewaris para Nabi. Dari sisi peradaban, ulama berperan dalam transformasi ilmu dan peradaban. Dari sisi kebangsaan, ulama mengajarkan sikap patriotik, cinta tanah air, bela negara, dan perjuangan kemerdekaan.

“Para kyai dan ulama sebagai pewaris para Nabi telah mentransformasikan ilmu dan peradaban, menjaga, mendidik dan melakukan berbagai perbaikan di segala bidang,” kata Wapres.

“Para kyai dan ulama juga mengajarkan sikap patriotik, cinta tanah air (hubbul wathan) dan bela negara. Jasa dan peran besar para kyai, para ulama dan pondok pesantren terhadap perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa sangat besar. Tidak bisa dihargai dengan sekadar materi,” ungkap Wapres.

Untuk memperkuat narasi tersebut, Wapres mengutip hadis, yang lengkapnya: 

 مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ 

“Meninggalnya seorang ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal, laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih ringan dari meninggalnya satu orang ulama.” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).

Nada dan intensi hadis itu bukan untuk merendahkan wafatnya orang satu kabilah. Kalimat itu perlu dipahami sebagai ungkapan ilustratif, kiasan, atau amtsal, untuk menghargai sosok ulama dan ilmuwan di tengah masyarakat. 

Wafatnya orang satu suku atau satu kabilah jelas sebuah musibah besar, sebuah kehilangan besar, dan wafatnya seorang ulama adalah musibah yang jauh lebih besar. Demikian pemaknaannya. Jadi, sama sekali bukan untuk merendahkan peristiwa wafatnya orang satu suku. 

Jangankan kehilangan nyawa satu suku, dalam Islam, kehilangan satu nyawa saja adalah sebuah catatan serius. Tidak mungkin direndahkan. Maka satu dari lima tujuan utama syariah atau maqashidus syari’ah adalah menjaga jiwa (hifdhun nafs). 

“Surat Al Maidah ayat 32 menyatakan, siapa yang membunuh satu orang secara tidak sah, setara dengan membunuh seluruh manusia, terang Masduki lagi.

Belum ada Komentar untuk "Ma'ruf : Meninggalnya Satu Suku Itu Lebih Ringan daripada Meninggalnya Ulama"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel